Masa Bercocok Tanam ( Jaman Neolitik)

Perubahan mendasar terjadi pada awal tahapan ini. Pada masa ini manusia yang sebelumnya sekedar pengumpul makanan, mulai menjadi penghasil makanan dengan melakukan bertani dan berternak. Mereka tidak lagi hidup berpindah-pindah (nomaden), tetapi relative telah menetap dan tinggal di perkampungan kecil.

Masa Bercocok Tanam (Jaman Neolitikum)

Dalam masa ini orang sudah menggosok alat-alat yang terbuat dari batu hingga halus. Pertanian dan perternakan sudah lebih maju dan orang sudah membuat rumah-rumah yang ditempati secara permanen. Rumah-rumah tersebut didirikan secara bergerombol sehingga menyerupai kampung. Pembuatan tembikar dan pertenunan sudah maju. Alat-alat batu yang menonjol dari masa ini ialah beliung persegi dan belincung. Beliung persegi ialah suatu alat yang dibuat dari batu kalisedon atau agat yang atasnya (bidang distal) melengkung, sedang bidang bawahnya (bidang proximal) sedikit melengkung. Bangian pangkal biasanya lebih kecil daripada bagian ujungnya. Bagian pangkal ini tidak digosok. Bagian ujungnya disebut juga bagian tajaman, digosok atau diasah hanya pada sisi bawah (pada bidang proximal saja). Beliung tersebut digosok hingga halus dan mengkilat. Cara menggunakan ialah diikat pada setangkai kayu. Cara mengikatnya ialah melintang (sama seperti cangkul). Beliung persegi ini digunakan untuk melubangi kayu atau kalau yang berukuran kecil digunakan untuk membuat ukiran. Hal ini diketahui dari kebiasaan beberapa suku Negro Afrika yang menggunakan alat-alat demikian untuk membuat ukiran kayu. Belincung berbentuk seperti beliung, akan tetapi bidang distalnya melengkung dan menyudut. Bidang penampangnya berbentuk segi lima. Alat ini kemungkinan dipergunakan untuk membuat perahu (dari sebatang pohon). Alat lain ialah kapak, yang bidang distal dan bidang proximalnya mempunyai bentuk yang sama. Tajaman diasah dari kedua sisi. Cara menggunakannya ialah diikat pada sebatang kayu dengan posisi membujur (seperti tamahawk suku Indian Amerika). Dari batu jenis agat dan jaspis (berwarna hijau kekuning-kuningan) dibuat pula gelang-gelang. Gelang-gelang ini digosok halus dan sering digunakan sebagai bekal kubur. Sudah dapat dipastikan gelang ini berfungsi juga sebagai perhiasan badan. Ada gelang kecil diameternya yang mungkin digunakan bagi anak kecil atau bayi. Cara pembuatannya cukup kompleks. Mula-mula batu agat dibentuk dengan cara memukul-mukul dengan batu lain sehingga berbentuk diskus (bulat pipih). Kemudian bagian bawah (salah satu sisi) digosok hingga rata. Sisi yang lain dibor dengan sebatang bambu. Pada permukaan bambu itu diberi pasir dan mungkin air, supaya batu lebih cepat terkikis. Mengebor memerlukan waktu lama. Setelah batu berlubang lalu dilanjutkan dengan menggosok atau menghaluskan lubangnya dengan alat yang terbuat dari fosil tanduk kambung hutan. Sisi luarnya pun digosok hingga halus.
Kapak, beliung, belincung banyak ditemukan di daerah Bekasi (Buni) Jawa Barat, sedangkan gelang-gelang dari batu agat banyak ditemukan di daerah Purwakarta. Di daerah Purbalingga diketahui terdapat perbengkelan pembuatan gelang dari batu jaspis. Selain itu ditemukan pula semacam kapak yang besar, besarnya hampir seperti cangkul sekarang. Alat tersebut memang digunakan mencangkul tanah. Di Indonesia bagian Timur, seperti Sulawesi, Maluku, Irian Jaya ditemukan kapak-kapak yang berpenampang lonjong (bulat telor). Bagian tajamnya melebar sedangkan pangkalnya runcing. Kapak semacam ini masih ditemukan dibuat di Iraian Jaya. Pada umumnya batu yang digunakan ialah batu hitam kehijauan. Kapak semacam ini dikenal di Jepang dan Filipina dan mungkin sekali kemudian menyebar ke Irian Jaya lewat Sulawesi dan Maluku. Anehnya, kapak lonjong ini tidak ditemukan di Indonesia bagian barat. Hal ini membuktikan bahwa antara Filipina dan Sulawesi terdapat hubungan kebudayaan pada masa Neolithicum. Dalam masa ini nampaknya sudah ada spesialisasi dalam masyarakat. Misalnya ada sebagian masyarakat yang hanya membuat beliung atau belincung secara kasar kemudian dibawa ke tempat lain untuk dihaluskan oleh orang lain. Tempat-tempat dimana kita mendapati berbagai macam kapak dan beling (belincung) yang masih kasar dinamakan atelier. Atelier ditemukan di Punung, Jawa Timur dan di Pasir Kuda (Jawa Barat).

Masa Bercocok Tanam (Jaman Neolitikum)

Kapak-kapak atau beliung yang belum jadi disebut Planche. Peninggalan lain yang banyak terdapat dari masa neolithicum ialah tembikar. Pembuatan tembikar dapat diketahui dengan metode pembakaran terbuka. Cara membentuk tanah liat tidak menggunakan roda pemutar, jadi hanya dibentuk dengan tangan saja. Akibatnya jika membuat bentuk periuk misalnya, terdapat bagian-bagian yang tebalnya tidak rata. Karena sistem pembakarannya adalah sistem terbuka, akibatnya suhu yang ditimbulkan adalah suhu rendah. Oleh karena itu tembikar masa Neolithicum ini sangat poreous (berpori). tembikar yang berukuran besar dibuat dengan membuat pilinan tanah liat yang panjang, kemudian dilingkarkan satu di atas yang lain. Untuk menghaluskan dipakai sebuah batu halus yang dipegang tangan kiri dan ditaruh di dinding sebelah dalam. Dari sebelah luar dipukul-pukul dengan kayu yang ujungnya melebar (tetap). Cara ini sering dipakai untuk membuat tempayan, periuk besar, pasu, dan lain-lain. Untuk membuat hiasan pada tembikar, sering kita jumpai permukaan tatap itu diukir. Akibatnya akan terdapat bekas-bekas pada permukaan periuk hiasan. Hiasan tersebut adalah dicap (impressed), berbeda dengan hiasan lain yang digores (incised). Dengan menggunakan sebatang lidi atau bambu, permukaan gerabah yang belum di bakar digores digambari (biasanya dengan pola geometris), baru kemudian dibakar. Tembikar atau gerabah banyak ditemukan sebagai bekal kubur. Nampaknya masyarakat pada masa itu sudah memasak makanannya dengan tembikar ini, sebab ada yang ditemukan bagian bawahnya hitam bekas api. Pada masa Neolithicum sudah dikenal pula pertenunan. Hal ini diketahui dari ditemukannya pecahan tembikar dengan cap tenunan pada permukaannya. Hal ini terjadi karena pada waktu itu dibuat dan masih basah benda tembikar itu diletakkan di atas bahan tenunan. Bahan tenunan yang diketahui ialah tenun bogor, yang benangnya dibuat dari daun gebang. daun gebang disayat halus-halus, sehingga dpat dipakai sebagai benang tenun. Tenunan semacam ini masih terdapat di daerah Yogyakarta. Pada umumnya sekarang hasilnya dipakai sebagai bungkus barang dagangan. Dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, pada masa Neolithicum budaya manusia telah maju dengan pesat. Berbagai macam pengetahuan telah dikuasai, misalnya pengetahuan tentang perbintangan, pranatamangsa (cara menentukan musim berdasarkan perbintangan atau tanda-tanda lainnya), pelayaran, kalender (menentukan hari baik atau buruk) gamelan, wayang, pertenunan, dan sebagainya. Masih banyak unsur-unsur kebudayaan Neolith itu yang masih hidup hingga sekarang. Salah satu diantaranya ialah pertenunan dengan menggunakan tenun gendong. Unsur-unsur lainnya yang dapat disebutkan dan masih hidup hingga sekarang misalnya gamelan, wayang, pranata mangsa, pelayaran, kalender, dan sebagainya. Yang dapat diungkapkan ialah adanya kepercayaan manusia terhadap hidup sesudah mati. Berdasarkan penggalian-penggalian dimana kerangka manusia ditemukan, dapat diketahui bahwa hampir semua kerangka manusia tidak memiliki telak kaki. Rupanya waktu sebelum dikubur, telapak kaki itu dipotong dengan harapan supaya kerangka itu tidak dapat tegak berdiri lagi. tengkorak (kepala) si mati dihadapkan ke suatu gunung di dekat kuburan itu. Hal ini menunjukkan bahwa gunung dianggap sebagai tempat penting para roh. Biasanya kerangka itu dikubur membujur timur-barat atau tergantung kepada letak gunung yang di anggap keramat sekitar tempat itu. Hal ini berbeda dengan kerangka-kerangka yang ditemukan dalam pemakaman Islam yang membujur utara-selatan dengan tengkorak menghadap ke kiblat (Barat). Selain penguburan langsung atau disebut juga penguburan primer dimana mayat dikubur langsung ke dalam tanah atau dimasukkan ke dalam tempayan secara utuh, ada pula sistem penguburan yang disebut cara penguburan sekunder, yaitu setelah mayat dikubur beberapa lama (atau diletakkan si sebuah padang) lalu tulang belulangnya dipilih dan dengan upacara besar-besaran dikuburkan. Ada pula suatu adat dimana tulang belulang manusia dimasukkan kedalam tempayan lalau di kubur, sebagai mana terlihat dalam penggalian di Mololo (Sumba Timur) Merak (Jawa Barat), Gilimanuk (Bali). Adat semacam ini masih terdapat pada suku Dayak di Kalimantan.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More